Diskusi Publik : Perpanjangan Blok Migas Antara Nasionalisasi VS Kepentingan Negara

  • Jumat 16 Agustus 2019 , 12:00
  • Oleh : Ritta Humas
  • 1470
  • 3 Menit membaca
UPN VETERAN Yogyakarta

SLEMAN - Pusat Studi Mineral & Energi UPN “Veteran”Yogyakarta menyelenggarakan diskusi publik dengan topik Perpanjangan Blok Migas : Antara Nasionalisasi VS Kepentingan Negara dengan menghadirkan narasumber Tenaga Ahli SKK Migas - Sulistya Hastuti Wahyu, Pengamat Ekonomi Energi UGM - Dr. Fahmy Radhi, Guru Besar Teknologi Kelautan ITS/mantan Anggota DEN 2009-2014 - Prof. Dr. Mukhtasor, Jumat (16/8/2019).

Sebagaimana diketahui, blok minyak dan gas bumi (migas) yang diberikan kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama nasional maupun asing yang habis kontraknya pada tahun 2015-2024 memberikan kontribusi sebesar 72,5% dari produksi migas nasional. Berdasarkan data tersebut, potensi blok terminasi tentu sangat menarik, dan sejak tahun 2013 telah mengemuka diskusi dan wacana mengenai siapa yang lebih tepat mengelola perpanjangan blok-blok tersebut, apakah National Oil Company (NOC) yaitu Pertamina ataukah diserahkan kepada pemegang kontrak existing saat itu. Pertimbangan bagi yang mengusulkan diserahkan kepada Pertamina dikarenakan Pertamina hanya menguasai sekitar 24% dari produksi migas nasional, masih kalah dibandingkan dengan Petronas sebesar 50% atau Saudi Aramco sebesar 99%. Maka kemudian dibangunlah narasi perlunya negara menunjukkan keberpihakannya kepada Pertamina sebagai NOC berdasarkan amanah dari UUD 1945 Pasal 33.

Fahmy Radhi, pada diskusi ini menyampaikan pemerintah memberikan pengelolaan Blok Mahakam yang habis tahun 2015 secara langsung 100% kepada Pertamina. Namun sayangnya, justru produksi malah turun dibandingkan saat masih dikelola oleh operator sebelumnya, padahal cadangan yang ada di Blok Mahakam masih besar. “Ada apakah dengan Pertamina? Karena ada fakta lain bahwa Blok Offshore North West Java setelah diserahkan ke Pertamina produksinya juga turun dan terakhir ada kecelakaan dan masih belum selesai ditangani” lanjut Fahmi Rady.

Pemberian perpanjangan Blok Rokan yang menggunakan mekanisme tender dan lagi-lagi dimenangkan oleh Pertamina karena komitmen investasi yang lebih besar dibandingkan Chevron, menunjukkan bahwa perpanjangan blok migas terminasi dengan cara nasionalisasi terpatahkan karena hal tersebut diperoleh melalui tender business to business.

Perpanjangan Blok Corridor yang saat ini banyak dibicarakan karena ada ketidakpuasan disebabkan Pertamina tidak diberikan 100% sebagai pengelolanya. Menanggapi hal tersebut, Sulistya mengatakan bahwa pemerintah tetap memperhatikan Pertamina sebagai NOC. “Walaupun sahamnya bukan yang terbesar, namun pada konsorsium pengelola Blok Corridor, Pertamina memiliki peran dan pengaruh penting terkait kebijakan karena akan bertindak sebagai operator pada tahun 2026 nanti” ujar Sulistya.

Pada sisi lain, sejak 2014 defisit neraca migas terus membesar, dan puncaknya pada bulan Juli 2019 Presiden Jokowi menyampaikan keluhannya dan meminta kementerian terkait yaitu Kementerian BUMN dan ESDM untuk melakukan langkah-langkah mengurangi defisit neraca migas karena memberikan porsi terbesar dalam defisit neraca perdagangan Indonesia yang terus membesar sehingga menyebabkan perekonomian tumbuh stagnan.

Adapun Mukhtasor menyampaikan bahwa pada pasal 33 UUD 1945 justru menekankan bahwa dalam pengelolaan kekayaan negara harus memberikan kesejahteraan sebesar-besarnya untuk rakyat, bukan menitikberatkan pada pengelolaan kekayaan negara. “Dalam buku yang diterbitkan Mohammad Hatta mengenai politik perekonomian, makna dikuasai negara tidak berarti bahwa pemerintah sendiri dengan birokrasinya menjalankan perusahaannya, manajemen asing dapat pula menjalankan perusahaan dengan terus meningkatkan jumlah tenaga kerja dan kandungan lokal. ”Artinya, Bung Hatta yang menjadi Bapak Koperasi pun masih membuka kesempatan bagi perusahaan asing untuk terlibat dalam perekonomian nasional” lanjut Mukhtasor.

Pada diskusi tersebut, Mukhtasor juga menyoroti terus menurunnya kinerja Pertamina karena efisiensi yang rendah, padahal di tahun 2016, Pertamina berhasil menghasilkan laba terbesar sepanjang sejarah hingga mengalahkan laba Petronas. Melihat kondisi Pertamina saat ini yang masih terus bongkar pasang manajemen, kemudian kinerja yang menurun, dapat dibayangkan bagaimana nasib produksi migas nasional jika diserahkan semuanya kepada Pertamina. Maka sudah benar apa yang dilakukan oleh pemerintah, yaitu melakukan keseimbangan dalam pengelolaan industri migas nasional dengan senantiasa menempatkan kepentingan negara untuk kesejahteraan rakyat sebagai pondasi utama dengan tetap memperkuat kapasitas Pertamina.